Aku dan Engkau

Minggu lalu saya membahas tentang kelemahan bahasa Indonesia akibat diglosia. Singkat diglosia menyebabkan dialog yang merupakan ragam lisan menjadi canggung ketika ditulis di literatur. Dialog yang harusnya memakai bahasa sehari-hari tanpa memerhatikan tata bahasa (grammar), sampai di teks tiba-tiba lengkap dengan me-kan, di-kan, pe-an. Kali ini saya ingin membahas kebalikannya. Karena diglosia, bahasa Indonesia jadi kaya.

Salah satu poinnya adalah kata ganti orang alias pronoun. Wikibooks mendaftar pronoun di bahasa Indonesia sebagai berikut:
English | Formal | Informal | Informal Possesive |
---|---|---|---|
I | Saya | Aku | -ku |
You | Anda | Kamu | -mu |
He/She/It | Beliau | Dia | -nya |
We (inclusive) | Kita | Kita | Kita |
We (exclusive) | Kami | Kami | Kami |
You (Plural) | Kalian | Kalian | Kalian |
They | Mereka | Mereka | Mereka |
Well… That’s bullshit. Kata aku juga bisa dipakai dalam situasi formal. Bentuk kepemilikan -ku, -mu, dan -nya juga bukan ekslusif milik bahasa formal. Dia, itu netral.
Namun hal ini wajar karena dalam “Bahasa Indonesia” yang diajarkan oleh pemerintah, artinya ragam H dalam spektrum diglosia, cuma kata-kata di atas lah yang ada di dalam kamus. Kata yang lain tidak dikenal. Bukan bahasa Indonesia, kasarnya…
Jika saya disuruh merevisi tabel di atas, kira-kira hasilnya seperti berikut. Kolom terkanan saya biarkan apa adanya soalnya lagi nggak kepikiran. Kalau ada ide silakan bagi tau…
English | H Form | L Form | Informal Possesive |
---|---|---|---|
I | Saya, Aku | Gue, Gua, Aing, Beta, Nyong, Diriku, Eike, Ana, Ane, | -ku |
You | Anda, Kamu | Engkau, Kau, Dikau, Kow, Loe, Lu, Maneh, Sampeyan, Situ, Antum, Ente, | -mu |
He/She/It | Beliau, Dia | Anak itu, Orang itu, | -nya |
We (inclusive) | Kita | Kita orang, Torang, | Kita |
We (exclusive) | Kami | Kami orang, Kita, | Kami |
You (Plural) | Kalian | Kamu orang, Lorang, Lupada | Kalian |
They | Mereka | Dia orang, | Mereka |
Ah itu kan bahasa daerah. Ah itu kan bahasa gaul. Mungkin itu yang ada di benak kalian.
Jawabannya sederhana. Jadi bukan bahasa Indonesia ya? Kalau begitu, kita kalau ngobrol itu gak pake bahasa Indonesia dong. Dan native speaker bahasa Indonesia jadinya NOL dong.
Hal ini juga di bahas oleh Sneddon di makalahnya “Diglossia in Indonesian”. Pemerintah mempromosikan bahasa Indonesia yang baru sebagai “bahasa yang baik dan benar”, sedemikian sehingga bahasa yang diucapkan sehari-hari itu dikucilkan. Tidak dianggap. Seolah-olah bahasa gaul itu bukan bahasa Indonesia.
Namun kalau kita mengadopsi teori diglosianya Fergusson, semua bisa dianggap bahasa Indonesia! Cuma ya ragamnya aja (bukan dialek) yang berbeda…
Dan jika kita sudah sepakat bahasa gaul dan ucapan sehari-hari itu tidak-lain dan tidak-bukan jugalah bahasa Indonesia, kita bisa masuk ke kesimpulan. Bahasa Indonesia itu kaya!
Tidak hanya kosakata dari bahasa ibunya – Bahasa Melayu, Bahasa Indonesia pun disokong kosakata yang diserap dari bahasa daerah. Dan dipakai oleh orang-orang daerah tersebut untuk berbicara ke orang daerah lain. Beberapa kata sifatnya sudah jadi nasional, kayak gue loe yang dari daerah Jakarta. Beberapa masih regional. Namun itu tidak membatasi kayanya kita akan ragam pronoun.
Tidak hanya itu juga, kita biasa mengganti kata “kamu” dengan euphemisme seperti saudara, bapak, ibu, mas, mbak, adek, abang, dan lain-lain. Makin banyak pilihan kan tuh!
Setidaknya kalau mau nulis novel nih, kita bisa mengasosiasikan karakter dengan penggunaan kata ganti orangnya. Misal satu tokoh ngomongnya selalu Anda/Sodara dan Saya kayak pengacara gitu. Tokoh lain Aku dan Engkau. Tokoh yang sono ngomongnya eike dan ente. Eh pas berhadapan dengan orang tertentu atau saat diskusi dengan topik tertentu, si tokoh sono tadi balik ke Kamu dan Saya. Nah lho – nah lho, ada apa itu? #subtle
Jauh lebih seru bukan dibanding semua karakter memakai You and I.
Saya juga tergantung orangnya beda-beda memakai pronoun. Ada orang yg saya selalu memakai aku. Ke keluarga selalu manakai nama. Ke teman depat maneh-aing. Sisanya baru saya. Bukan cuma aing kan yang gini?
Oh ya, di Jepang juga ada cukup banyak varian pronoun.
Saya: 私 watashi、私 watakushi, 我 ware, わし washi, 自分 jibun, うち uchi, 僕 boku、俺 ore.
Kamu: あなた anata、あんた anta, 君 kimi、おまえ omae, てめえ temee、貴様 kisama.
Dia: 彼 kare、彼女 kanojyou、やつ yatsu、そいつ soitsu、あいつ aitsu.
Lengkapnya bisa dilihat di wikipedia Japanese Pronoun berikut.
Btw, kata ganti orang ketiga tunggal “dia” itu netral yak di Indonesia maupun Jepang. Kurang ada variasinya.
Yang saya paling suka itu てめえ temee dan 貴様 kisama. Secara harfiah sih arti aslinya “kamu”, tapi punya konotasi merendahkan serendah-rendahnya, dan bisa dijadikan umpatan juga. Di bahasa Indonesia ada nggak ya?
Referensi.
Ferguson, CA. 1959 ‘Diglossia’, Word 15:325-40. [Reprinted in 1972 in Pier Paolo Giglioli (ed.), Language and social context; Selected readings, pp. 232-51. Harmondsworth: Penguin.]
Sneddon, J. (2003). Diglossia in Indonesian. Journal of the humanities and social sciences of Southeast Asia and Oceania, 159(4), 519-549.
Kenal, Bahasa Inggrisnya Apa?
"No knowledge, no love!" Wait what? Tiba-tiba penasaran, konsep "kenal" itu ada nggak ya…