Kita lihat masa sekarang banyak sekali layanan jejaring sosial betebaran. Mereka adalah tren baru dan gaya masa kini. Teknologinya paling terdepan. Sebaliknya blog merupakan media kuno yang sudah ada semenjak web dikenal orang. Perkembangannya ya begitu-begitu saja, tidak sepesat layanan “jejaring sosial” (walaupun terkadang blog juga dianggap sebagai salah satu jejaring sosial). Pemakainya jangan-jangan cuma orang-orang tua 40 tahunan ke atas.

Belum lagi, beberapa jejaring sosial tersebut memiliki fasilitas serupa weblog. Di Facebook misalnya sudah menjadi gaya untuk menulis nasihat, hikmah, atau sekedar puisi di notes dan disebarluaskan ke seluruh friends yang ada. Pada grup pun ada fasilitas doc yang bisa dijadikan catatan bersama. Twitter sering disebut-sebut sebagai sarana microblogging. Kecepatan pesebaran informasinya katanya melebihi kecepatan gempa. Google+ apalagi, dengan jumlah karakter nyaris tak terbatas pada satu posnya, ia nyaris bisa digunakan sebagai catatan web seperti blog. Hal ini menimbulkan pertanyaan, masih zaman kah blog? Masih relevan gitu?

Jawaban singkatnya : SANGAT MASIH LAH!!

Memang, banyak orang yang sangat nyaman dengan jejaring sosialnya. Nyaman bisa menspam umpan berita teman-temannya dengan ocehan mundannya. Nyaman juga bisa berbagi artikel dengan tautan atau notes. Beberapa bahkan membagi tulisan yang ditulis pada deskripsi foto. Menyebar pesan dan berita lewat jejaring sosial tampak jauh lebih mudah.

Begini, akun anda pada jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan Google+ itu kan pada dasarnya tanah sewaan kan? Masa kita mau bangun rumah di atas tanah sewa. Parahnya lagi tanah sewaan tadi terlalu padat lalu lintas tidak jelas.  Bau. Bising. Lokasi yang jelek sekali untuk bangun rumah bukan. Facebook dkk. itu bisa dan akan dan sudah pernah merubah peraturan pada lahannya. Masih maukah kita hanya punya rumah disana.

Sebaliknya yang punya blog ya kamu sendiri. Memang jika masih gratisan blog tersebut masih dibawah domain wordpress atau blogspot misalnya, masih “nyewa”. Akan tetapi, kepemilikan blog tersebut 100% ada di tangan Anda. Isi dan tampilan seluruhnya terserah Anda. Tidak ada orang lain yang mengatur. Apalagi bagi sebuah bisnis atau bahkan perusahaan, analogi tadi makin terasa. Tentu saja sangat aneh perusahaan yang tidak memiliki “rumah” sendiri sebagai sarana pusat informasi utama.

Perbedaan analisis google antara nggak nge-blog dan nge-blog pada sebuah bisnis

Inti dari sosial media adalah konten yang bagus. Bagaimana sebuah bisnis dapat memberikan ladang pusat untuk kontennya harus menjadi konsen utama bagi pelaku bisnisnya. Website dan bentuk alternatifnya blog dapat menjadi sumber/ ladang utama bagi target produk kita. Di sana kita bisa memberikan informasi yang lebih detail, menarik, dan menggugah tentang bisnis kita dibanding hanya melalui jejaring sosial tertentu. Berdasarkan riset dari  Content Marketing Institute, 65% dari bisnis B2B sekarang memanfaatkan blog sebagai ladang pusat. Buat artikel-artikel yang membuat orang mengerti produk mu dan buat seheboh mungkin supaya orang tertarik untuk menyebarkannya. Nah, itu baru hebat.

Pada blog, kita bebas mengontrol ide yang kita miliki sendiri. Kitalah pemimpinnya. Kita pemilik dapurnya. Kita bisa memberikan propaganda apa saja mulai dari berbagi pengalaman, tips-tips, opini, sampai pemikiran berat. Pengelolaan blog juga akan memberikan kesan pakar atau profesional dibanding hanya menulis pada pos jejaring sosial saja.

Pos yang muncul pada aliran umpan berita di jejaring sosial hanya muncul sesaat. Beberapa jam ia sudah tenggelam tak terselamatkan lagi. Sebaliknya pos pada blog bertengger selamanya. Ia bisa mengundang pembaca sampai berhari-hari atau berbulan-bulan kemudian. Bahkan, pos pada blog masih dapat ditemukan pembaca lewat mesin pencari. Pengelolaan konten dan pencarian pada blog juga jauh lebih mudah dibanding pada jejaring sosial.

Memang mesin pencari sekarang bisa juga menjamah hingga ke dalam jejaring sosial. Akan tetapi, saya bertanya balik. Jejaring sosial mana saja? Fitur mana saja? Kemudian, pernahkan anda mendapat info yang anda butuhkan dari pos pada jejaring sosial saat anda yang melakukan pencarian (a.k.a. googling)? Sangat jarang bukan?

Blog merupakan sarana media sosial yang sangat fleksibel. Ia bisa dijadikan kanal informasi pusat dan dapat dengan mudah dihubungkan dengan banyak kanal lain seperti jejaring sosial.  Terlebih lagi tidak ada batasan dalam blog. Anda bisa menulis sepanjang apa pun. Video, foto, tautan, kutipan semua bisa diletakkan bercampur aduk menjadi satu. Jumlahnya terserah kita sang penulis. Sama persis seperti artikel pada koran dan majalah.

Makanya konyol orang yang meletakkan artikel pada deskripsi foto. Susah dibaca. Mereka melakukan dua kesalahan. Satu, kolom dekripsi foto itu seharusnya mendeskripsikan keterangan tentang foto tersebut bukan artikel terkait super panjang apalagi artikel tidak terkait. Dua, jika foto merupakan penjelas dari artikel mereka berarti salah persepsi mana yang utama dari keduanya: foto atau artikel. Di dalam fitur foto Facebook, jelas yang utama adalah foto bukan deskripsi/artikelnya. Alangkah jauh lebih baik jika artikelnya ditaruh ke blog, baru kemudian link artikel blog tersebut yang dibagi-bagi.

Salah satu penyebab banyak blogger kabur dari blognya dan pindah ke jejaring sosial adalah jumlah interaksi. Ya, pada jejaring sosial mereka cenderung mendapat interaksi lebih. Pada blog jarang ada interaksi nyata yang diberikan. Kita tidak tahu apakah ada yang membaca atau tidak, tidak seperti jejaring sosial kita tahu bahwa pos kita itu melayang di umpan berita sana.

Sebenarnya ini salah mereka juga. “Perhatian” itu sumber daya langka di Internet sehingga perlu dicari. Sudah menjadi kemafhuman bagi blogger untuk saling bertukar pengalaman dan saling berbagi pendapat atas artikelnya. Blogwalking lah. Berkenala dari blog-ke-blog dan menyapa sesama blogger (selayaknya kita di jejaring sosial) adalah bagian penting bagi pengelolaan blog yang baik. Memang orang Indonesia cenderung pelit dan belum biasa untuk memberikan pendapat via kotak komen pada blog. Mereka juga pelit untuk sekedar mengklik tombol suka pada blog. Akan tetapi, jika kita yang memulai duluan blogger lain akan mengerti dan memperhatikan dan akhirnya interaksi pun terjadi.

Akan tetapi, exodus blogger ke jejaring sosial ini sebenarnya cukup bagus bagi para blogger lain. Dengan berkurangnya blogger, berkurang pula lah blog pada blogosfer sana. Bagi mereka yang sudah memiliki konten, terus mengelola blognya, dan mempertahankan kualitas tulisan, blognya akan makin dikunjungi orang. Mesin pencari yang bertambah “sepi” dari blog tak terkelola itu pun akan membawa pengunjung lebih ke blog yang lebih update. Tidak lagi bersaing dengan blog lain. Seleksi alam – survival of the fittest – berlaku di sini.

Semoga blog ini bisa menjadi salah satu yang selamat dari kepunahan dan berevolusi dari blog kemaren siang, ke blog kemaren sore, dan lama-kelamaan akhirnya menjadi blog masa kini.

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Kenal, Bahasa Inggrisnya Apa?

"No knowledge, no love!" Wait what? Tiba-tiba penasaran, konsep "kenal" itu ada nggak ya…