Biasakan Pakai Bahasa Indonesia yang Indonesiawi

Kita tahu, bangsa ini bisa dibilang bangsa yang gemar mengadopsi hal-hal yang berasal dari asing. Sebutlah gaya hidup, pakaian, atau budaya yang semakin hari kita lihat semakin ke barat-baratan. Film yang sukses di barat sana ditiru secara kocak di layar kaca kita. Demokrasi, liberalisme, dan baru-baru ini feminisme yang jelas bukan berasal dari negeri ini dipuja-puja di negeri ini. Jangan sebut barang-barang yang dari kancing sampai rudal merupakan hasil impor, peraturan pemerintah pun sebagian besar masih warisan Belanda. Tidak terkecuali pula dengan bahasa persatuan kita tercinta: bahasa Indonesia.
Tulisan ini dibuat karena beberapa waktu lalu saya mendengar atau membaca bahwa bahasa Indonesia lebih mudah dipelajari jika sudah tahu bahasa Inggris. Lebih jauh lagi, katanya yang menyatakan hal ini adalah orang Malaysia. Wow! Hmm… Apakah itu benar? Bisa iya, bisa tidak. Menurut tabel pada wikipedia, kata serapan dalam bahasa Indonesia dari bahasa Inggris adalah terbanyak kedua selisih tipis dengan bahasa Arab. Kata serapan dalam bahasa Indonesia paling banyak berasal dari bahasa Belanda. Lalu kenapa perkataan tadi itu bisa muncul ya?
Globalisasi terjadi. Bisa kita perhatikan di zaman canggih ini kita bisa berhubungan dengan seluruh dunia dengan Internet. Bahasa yang dipakai tentu bahasa dunia, yang paling terkenal adalah bahasa Inggris. Berkembangnya iptek yang bisa dibilang banyak berasal dari barat dan diinternasionalisasikan dengan bahasa Inggris membuat kita tidak bisa tidak mengadopsi istilah iptek itu ke dalam bahasa kita. Terlebih lagi istilah-istilah yang terdengarcanggih kebanyakan berasal dari bahasa ini.
Akan tetapi, itu bukanlah masalah utama, mungkin, menurut saya. Penyerapan bukanlah sebuah dosa. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka dan hidup. Kosakata baru terus dibuat dari dalam bahasa ini. Ia pun dapat berkembang terus dengan menyerap kata dari bahasa lain dan yang paling ramai akhir-akhir ini adalah bahasa Inggis. Hal-hal tak terelakkan tadi telah membuat terdapat lebih dari 1500 kosakata Inggris di bahasa kita dan mungkin akan terus bertambah.
Tata bahasa dan kosakatanya hanyalah cerminan dari kebiasaan penggunanya. Contohnya kata Anda yang dari SD diajarkan kepada kita adalah kata sapa yang sopan. Nyatanya, sekarang ini kata Anda mulai bernuansa sombong atau bahkan cenderung merendahkan orang yang disapa. Tengara Perihal “bahasa Indonesia mudah dipelajari jika sudah tahu bahasa Inggris” bisa dipahami dengan melihat kenyataan bahwa orang-orang kita lebih lancar berkosa-kata dengan istilah asing dibanding istilah kita. Istilah asing terdengar lebih keren, mendalam, dan tentu saja kemasakinian. Dengan demikian, orang-orang di forum-forum diskusi, buku-buku, pidato-pidato, berita-berita, jejaring sosial – jejaring sosial, dan kesehariannya cenderung memakai kosakata bahasa Inggris supaya terdengar lebih bagus.
Nyatanya, tidak sedikit kosakata Inggris itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia (yang bukan serapan dari Inggris tentunya – jangan mentang-mentang bahasa kita terbuka dan aturan serapan dari Inggris jelas, kemudian setiap kata dalam bahasa Inggris bisa seenaknya diindonesiakan). Bahkan sebagian dari kosakata Inggris itu lebih mudah dipahami dalam padanan Indonesianya.
Perhatikan contoh berikut.
Wah, harus cari referensi yang komprehensif dulu nih sebelum artikelnya dipublis.
Kalimat di atas terdengar biasa bukan? Tetapi bukankah lebih bagus kalau referensi diganti dengan pustaka atau acuan, jauh lebih merakyat. Komprehensif? Apa maksudnya itu? Terdengar keren tetapi sulit dicerna bukan. Coba saja cek apa artinya di kamus dan jika kata itu diganti dengan kata ‘lengkap’ atau ‘menyeluruh’ hasilnya tampak lebih mudah dimengerti dan lebih nyata. Kata ‘dipublis’ atau ‘dipublikasikan’ bisa diganti dengan kata ‘diterbitkan’ yang lebih indonesiawi.
Hasil akhirnya adalah “Wah, harus cari acuan yang lengkap dulu nih sebelum artikelnya diterbitin.” Jauh lebih baik menurut penulis. Kata ‘artikel’ mungkin agak sulit mencari padanannya selain ‘tulisan’. Tampak sedikit lebih umum tetapi bisa juga dipakai dengan hati-hati.
Beberapa contoh kalimat `tercemar` lain.
Hasil kontemplasi beberapa hari setelah desperate gak dapat-dapat ide tulisan adalah tulis dengan random!
Untuk menghandel fraktur tulang secara adequat, diagnosis secara akurat harus dilakukan sebelumnya.
Apaan pula kontemplasi? Sulit sekali memahaminya dibanding dengan ‘perenungan’ bukan. Padahal keduanya sama. Kata desperate jelas pemakaian akibat banyak berinternet ria. Mungkin penggunanya tidak tahu frasa ‘putus asa’. Kata ide mungkin sudah lumayan merasuk ke jiwa bahasa Indonesia meskipun banyak padanan lain seperti ‘gagasan’, ‘buah pikiran’, ‘prakarsa’ yang – memang – cenderung terasa lebih kaku. Random, anda tahulah, semakin tenar pemakaiannya padahal bukan kata serap sama sekali.
Kalimat terakhir memang sengaja diada-adakan. Padanan Indonesianya adalah “Untuk menangani patah tulang secara memadai, diagnosis secara tepat harus dilakukan sebelumnya“. Kemudian, cermati kalimat yang diambil dari suatu laman berita dengan sedikit perubahan berikut:
Mayoritas areal hutan mangrove di Indonesia telah rusak karena ekses aktivitas illegal logging sehingga diperlukan rehabilitasi.
Ini lagi. Kenapa tidak pakai bahasa Inggris sekalian: Majority of mangrove forest area in Indonesia has broken due to excessive illegal logging activity therefore rehabilitation is needed. Kata yang bukan serapan hanya kata depan, kata hubung, kata kerja, dan kata ‘hutan’.
Padahal, mayoritas kata di kalimat itu lebih tepat diganti dengan ‘sebagian besar’. Mangrove itu ada bahasa Indonesianya loh: bakau. ‘Areal’ itu lebih bagus disebut ‘wilayah’. ‘Ekses’ bisa diganti dengan ‘terlalu banyak’. Illegal logging, ini adalah kata asing langsung yang sebenarnya tidak tepat didekatkan dengan hutan bakau. Pemasukan adalah kesengajaan penulis untuk memberi contoh istilah asing langsung yang sebenarnya dapat kita pakai langsung dengan cara cetak miring. Istilah illegal logging jauh lebih mudah dipahami dengan ‘penebangan liar’. ‘Rehabilitasi’ mungkin bisa dibiarkan atau diperjelas dengan ‘penanaman kembali’. Sebagai pelengkap, ‘aktivitas’ bisa lebih di-indonesiawi-kan menjadi ‘kegiatan’. Sehingga hasil akhirnya adalah:
Sebagian besar wilayah hutan bakau di Indonesia telah rusak karena terlalu banyaknya kegiatan penebangan liar sehingga diperlukan penanaman kembali.
Susah, Ribet, tapi Mari Biasakan
Penulis sendiri tidak bisa lepas dari kecenderungan ini. Lihat saja banyak tulisan penulis sebelum ini. Diperlukan latihan dan pengetahuan yang cukup luas untuk sekedar menghindari pemakaian serapan bahasa Inggris. Terlebih lagi cukup banyak istilah Inggris yang tidak ada atau sulit dicari padanannya di bahasa Indonesia – tidak memperhitungkan kosakata Inggris yang sudah sangat akrab di telinga kita. Terlebih lagi jika anda seorang pelajar yang sedang membuat makalah ilmiah. Meskipun ada, pemakaiannya mungkin terdengar janggal atau tidak biasa. Dalam tulisan ini misalnya, pada kalimat pertama sekali penulis memakai kata ‘adopsi’ karena kata lain yang sepadan (yang penulis temukan) seperti mengambil, menyerap, dan memungut dirasa kurang menggambarkan.
Tentu saja penulis tidak menyarankan untuk memakai atau mencari-cari padanan Indonesia untuk kata-kata yang berupa istilah khusus seperti demokrasi, internet, atau komputer. Meskipun ada, penggunaan Waring Wena Wanua atau Jejaring Jagat Jembar disamping World Wide Web adalah lucu. Kemudian, menggunakan padanan Indonesia dari istilah makian dalam bahasa Inggris juga tidak disarankan. Hasilnya bukannya lebih halus tetapi malah lebih kasar, kawan.
Banyak kata serapan Inggris juga sudah dirasa seperti kata serapan dari bahasa lain: ini kosakata bahasa kita. Beberapa contoh: sukses, musik, dan bisnis. Hampir tidak ada rasa janggal atau geli lagi seperti mendengar istilah aneh. Sudah “akrab”-lah, istilahnya. Lebih dari itu, kata ini sangat sulit dicari padanannya. Ketemu pun mungkin kata Indonesia kuno yang cuma dipakai di KBBI. Jika demikian, tidaklah perlu kita mencari-cari pengganti hal yang sudah biasa.
Akan tetapi, alangkah baiknya jika kita sekuat mungkin memakai istilah yang sudah ada dalam khasanah kosakata bahasa Indonesia, yang tidak keinggrisan. Jika Anda berhasil melakukannya, pasti tulisan Anda tidak berkurang bobotnya bahkan insya Allah bernilai lebih dan enak dibaca. Menegaskan perbedaan itu penting, untuk menjaga kelestarian bahasa kita juga. Kita tidak mau di masa depan separuh kata di bahasa Indonesia adalah kata serapan dari bahasa Inggris bukan? Jika itu terjadi, pendapat ‘tidak ada lagi yang namanya bahasa Indonesia, yang ada adalah Indolish‘ bisa diperdebatkan.
Catatan untuk tulisan ini.
- Contoh yang berhasil penulis lakukan dalam tulisan ini: menghindari kata ‘artikel’ dan diganti dengan kata ‘tulisan’, istilah ‘lifestyle’ menjadi ‘gaya hidup’, ‘fenomena’ menjadi
‘tengara’‘perihal’, ‘modern’ menjadi ‘kemasakinian’, menghindari kata ‘populer’ dengan ‘terkenal’, dan ‘bonus’ menjadi ‘tambahan’. - Kata demokrasi, liberalisme, feminisme, impor, internasional, globalisasi, internet dibiarkan dengan alasan istilah yang tidak bisa diganti, kata film dengan alasan padanan dalam bahasa Indonesianya sulit atau cenderung kepada majas, dan kata adopsi dengan alasan seperti yang sudah dijelaskan.
- Kata tabel, sukses, debat, dan sosial penulis anggap sudah sangat akrab dengan kita sehingga sulit dan mungkin tidak perlu dicari padanannya.
Kenal, Bahasa Inggrisnya Apa?
"No knowledge, no love!" Wait what? Tiba-tiba penasaran, konsep "kenal" itu ada nggak ya…
Komen ah…
Jadi ingat kecenderungan sekarang yang sudah mengarah ke indolish. Memaksakan istilah asing langsung ke bahasa Indonesia dengan langsung memberikan imbuhan. Contohnya : ‘me-list’, ‘re-reply’, dsb. Dan tampaknya sudah menjadi hal wajar untuk sekarang ini.
Tampkanya setiap hari kita lebih banyak dijejali istilah asing ketimbang istilah Indonesia [yang saya rasakan]. Jika zaman dulu pemegang kecenderungan istilah adalah dunia pendidikan, sekarang sudah bertambah media [setelah zaman orde].
Betul sekali. Tapi orang media, industri hiburan gitu juga udah ketularan ya? Hmmm… Kurang tahu saya… Makin serem aja keadaan Indolish sekarang berarti.
Mungkin dipikirnya karena bahasa prokem, keseharian, jadi gak papa ya… Tapi kalo kayak gitu kebiasaan berapa dekade lama-lama bisa masuk kamus juga tuh me-reply, me-list, mem-forward. Padahal ada mbalas, ndaftar, sama nerusin… Hmm… mengepos dan mengomentari udah masuk kamus dan udah sering… Wah, tunggu aja juga me-ritwit dan me-laik jadi masuk kamus.
Hmm.. Walaupun bahasa keseharian biasain pake kosakata sendiri lah ya. Kebanyakan baca internet sih generasi sekarang.
Tidak hanya baca internet saja der. Paling mudah menengok kasus di kampus.
Coba, kebanyak rujukan yang digunakan dan bahan pembelajaran rata-rata berasal dari bahasa asing. Karena itu, secara otomatis saat masuk kampus frekuensi kita berinteraksi dengan bahasa Asing menjadi cukup tinggi (yang saya rasakan, setelah nyemplung di kampus). Ini tidak terlepas masih sedikitnya tulisan keilmuan dalam bahasa Indonesia.
Ya, tidak bisa dipungkiri, kalau jurnal yang berkualitas rata-rata berbahasa asing. Rasanya sebagian orang juga akan lebih ‘PD’ ketika mengunakan rujukan dari bahasa Asing.
Saya pernah menemui kasus yang me-‘kata asing’ dalam tulisan ilmiah lho :p.
Kalau media, tengoklah bahasa pembaca berita sekarang terutama TV yang khusus menyampaikan berita. (eh lupa frekuensi menonton TV-mu kan jarang, hihi). Buka aja situs berita, pasti banyak buanget istilah serapan disana kok :p, yang kalau menurut pertimbangan dirimu masih bisa menggunakan istilah Indonesia yang asli tanpa mengubah maknanya.
Soal hiburan di TV, coba saja tonton acara musik, atau sejenisnya, atau beberapa acara talk show.
Dari pengamatan saya kebanyakan orang lebih senang menggunakan istilah asing karena :
Bisa menjadi lebih ‘terlihat’ gaul, lebih modern, untuk menunjukkan tingkatan (tingkatan pendidikan -> ini agar mudah menyepahamkan istilah atau tingkatan pergaulan), dan lebih menarik perhatian.
Nah, bisa dilihat kan, betapa seringnya kita berinteraksi dengan istilah Asing.
Hanya iseng, tahu ndak istilah tomcat dari mana? -> ini istilah dari pesawat tempur tomcat F-14 (kabarnya si karena bentuknya yang mirip). Media lebih senang menggunakan istilah itu, daripada semut kanai/kayap. Kenapa? Tomcat itu lebih menarik perhatian… 😀
Setuju, intinya membiasakan menggunakan istilah Indonesia dimanapun berada. *mengingatkan betapa sulitnya mencari istilah Indonesia saat menyusun TA. kyaaaaaa….
Alhamdulillah akhirnya ada jg beliau sang penulis yg sepemikiran dgn ku/ogut sampe” bikin blog bermutu kyk gini. Teman” maupun ortu ku mah malah ngatain “Kamu ahli bahasa aja bukan g usah so deh!”, hayu kt pertahankan kemurnian bahasa Indonesia dan selamatkan bahasa” daerah dari kepunahan!!!
Alhamdulillah terima kasih dibilang bermutu walaupun blognya sebenarnya bukan ditujukan untuk perihal bahasa aja nih. Saya juga bukan ahli bahasa atau pemerhati bahasa. Cuma dikit peduli dan prihatin aja, hehe… Mungkin Reinald bisa buat tulisan yang sama juga biar pesannya menyebar.
Setuju2, Bahasa Indonesia kan punya banyak bahasa daerah. Kalo mau nyerap, ngangkat kata dari bahasa daerah aja kan lebih bagus dibanding nyerap dari Inggris kan ya… Kayak kata mantan (eks) dan kata canggih (sophisticated).
Internasional bisa dijadiin Manca-Negara kan? Ingin menghimbau, aku malu semalu”y (éra kalau kata orang Sunda) membaca Wikipedia Bahasa Indonesia yg Indolishnya gak karuan, melampaui batas dan terlihat sangat malas menerjemahkan.
Maaf, menurutku sudah terlalu byk orang” yg kebarat”an dan kurang cinta apalagi peduli dgn tanah air, jadi penerjemah nu gélo nu boloho.
Hm, kadang emang bisa Internasional diganti mancanegara sih, tapi menurut saya umumnya mancanegara lebih deket ke multinasional deh. Agak beda dengan internasional.
Wikipedia id kebanyakan memang disadur dari wikipedia en dan yang menyadur bebas, bisa orang inggris yang punya kemampuan indonesia dikit, dkk dan biar cepet mereka cuma mengubah tulisan aja jadi seolah serapan bukan menerjemahkan. Mungkin biar bagus kita ikutan nyumbang disana aja yuk. Tinggal sunting aja yg masih belum diterjemahin. Saya juga berniat gitu tpi masih sering lupa menyempatkan waktu kesana. Mana inet lambat lagi, hehe…
Yups, setidaknya bahasa yang dipake jangan terlalu campur2 bahasa Inggris lah ya. Kalo susah di lisan ya tulisan, hehe… Biasakan biasakan…
“Wah, harus cari acuan yang lengkap dulu nih sebelum artikelnya diterbitin.”
Yang benar: diterbitkan, bukan diterbitin
Hehe, iya pak. Sengaja ditakbakukan karena itu dari status FB orang asalnya. Supaya terkesan tidak kaku soalnya ragam tak resmi jadi pakai -in deh.
wah keren bed! Tapi yang “tengarai” itu malah kurang pas kalo menurutku. Lebih enak fenomena. Toh tetep bahasa Indonesia, dan ada di KBBI 😀
Kan maksudnya biar gak pake bahasa inggris walaupun serapan dhis :). Soalnya serapan inggris semakin meningkat tajam (eksponensial bahasa sananya).
Tapi betul sebenernya katamu. Tengarai itu kata kerja, yang bener tengara yang kata benda. Salah tulis saya. Tapi tengara sama fenomena kayaknya emang beda, soalnya tengara itu lebih ke sesuatu yang belum jadi atau isyarat atau tanda, gak ngepas banget sama fenomena. Nanti saya cari yang lebih pas deh ya, he..
ThanksMakasih ya dhis.