Diglosia dan Dialog dalam Tulisan

Pada artikel sebelumnya, saya menyinggung sedikit bahwa Bahasa Indonesia dengan mengalami Diglosia dan menyebabkan obrolan dalam tulisan menjadi aneh. Tema untuk lain kali kata saya waktu itu, inilah lain kali tersebut.

Pertama-tama, apa itu Diglossia? Saya tidak akan membahas mendalam disini. Semoga dua paragraf ringkas berikut cukup untuk menjelaskan.
Intinya, Diglosia adalah kondisi dimana sebuah bahasa memiliki dua ragam yang dipakai secara bersamaan. Umumnya dinamakan dua prestige yang berbeda. Yang satu prestis tinggi, disingkat H. Yang lain prestis rendah, disebut L. Di Bahasa Indonesia bisa dibilang bahasa baku vs bahasa sehari-hari. Saya tidak ingin menyakiti hatimu vs Gue nggak pengen nyakitin hati loe.
Bahasa Indonesia masuk ke definisi cetusan Fergusson [1959]. (1) Dua ragam H dan L bahasa Indonesia memiliki fungsi yang berbeda, ragam H untuk yang resmi seperti pendidikan, berita, dan pemerintahan sementara L untuk percakapan kasual seperti ke teman, keluarga, dan masyarakat. (2) Ragam H, dianggap superior, distandarkan, dan diangkat tinggi oleh yang berwenang sementara L dengan cap Bahasa Yang Baik dan Benar, sementara L dianggap bahasa pasar dan haram diajarkan di sekolah. (3) H dipakai di dalam literatur dan syair sementara L hanya untuk percakapan informal. (Sneddon, 2003).
Sebenarnya, Mas Sneddon membahas lengkap tuh ttg bedanya H dan L-nya Bahasa Indonesia. Ada lebih dari 10 item. Bagi yang tertarik, silakan cari paper PDF-nya di perpus terdekar Anda. It is a good read!
Yang saya ingin curhatkan di artikel ini lebih menekan ke poin ketiga di atas. Ragam L kita itu tidak dipakai untuk literatur!
Hal ini membuat saya kesal kalau membaca dialog (atau menulis dialog!) di novel-novel. Soalnya, penggunaan kata di dialognya tidak realistis. Nggak bakal ada orang Indonesia yang ngomong kayak gitu di dunia nyata.
Misalnya saja kutipan dari novel Ketika Cinta Bertasbih, oleh Habiburrahman el Shirazy berikut.
Bayangkan dialog di atas dimainkan plek leterlek. Apa nggak awkward parah tuh?
Yang lebih natural (di dunia nyata), mungkin kira-kira begini kali ya… Bisa setuju bisa nggak sih.
“Kak Tiara nangis? Maafin saya kak, kalo ada katakata saya nggak berkenan.”
“Nggak papa Dik. Kakak cuma ngerasa berat ngadepin masalah ini. Kakak pengen cepetan jelas, pengen cepetan konsen ujian. Akhir-akhir ini Kakak susah tidur. Tapi kamu bener, dua hari lagi, nggak lama. Atau kakak ambil keputusan aja tanpa nunggu saran kakakmu. Suatu saat nanti, kamu bakal tahu kenapa kakak nangis.”
Cetak miring menandakan yang berbeda dari tulisan asli. Susunan kata dan kalimat sengaja dibuat sama dengan aslinya untuk mempertahankan alur pikir dan mungkin karakter tokoh. Namun, kalau dibuat bebas mungkin bisa lebih natural lagi.
Ngerti kan, titik frustasi saya dimana?
Masalahnya kalau dialog natural bayangan saya di atas tadi yang tertulis di novel, yang ngamuk mungkin lebih banyak lagi. Editor satu hal. Pembaca mungkin yang lain. Novel jadi tampak, well, unrefined atau unintellect. Tuh, bermain H vs L-nya Ferguson.
Jadi sepertinya dialog di novel-novel Indonesia itu bukan dialog yang diutarakan karakternya benar-benar kata per kata, melainkan hanya standar garis besar yang bisa saja pilihan katanya berbeda saat kalimat itu diucapkan memakai mulut. Hm… Hm… Hm…
Kalau gitu caranya, susah bedain satu dan lain karakter di novel. Karakter 1 dan karakter 2 di dunia nyata pasti punya gaya ngomong yang beda, pemilihan kata yang beda, dan struktur kalimat yang beda. That’s real world.
Kalau pakai cara sekarang, dialog patuh dengan aturan me-kan, di-kan, ber-kan dan semuanya, semua karakter persis dengan pembawa berita ngomong deh jadinya…!! Atau politisi yak? Robot? Atau syahdan melayu?
Contoh lain adalah ketika Muslim’ Show menerjemahkan komiknya ke Bahasa Indonesia. Mereka memberikan dua alternatif seperti berikut. Gambar 1 adalah alternatif H, memakai bahasa (cenderung) baku yang suka dipakai di literatur. Gambar 2 adalah alternatif L, walaupun lebih condong ke orang Jakarte.
Sumber Gambar: Facebook Page The Muslim Show Indonesia, Agustus 2014
Saya sangat menyayangkan Gambar 1 yang menang polling. Saya ingin memperjuangkan naturalisasi percakapan sehari-hari ke literatur. Tapi emang itu Gambar 2 nya kebanyakan kata Gw dan spamming Bro. Jadi agak geli juga dengernya…
Namun, kalau terjemahan mungkin memang lebih baik di Gambar 1 (ragam H) si kali ya. Biar lebih netral. Juga kadang susah menangkap nuansa satu bahasa ke bahasa lain, jadi yang paling aman ya yang paling netral. Agak serem juga bayangin baca komik Conan dengan ragam L.
Pengen nulis dialog yang lebih alami! Yang sebenar-benarnya karakter ucapkan kalau di dunia nyata. Tapi gimana ya… Hmf…
Referensi.
Ferguson, CA. 1959 ‘Diglossia’, Word 15:325-40. [Reprinted in 1972 in Pier Paolo Giglioli (ed.), Language and social context; Selected readings, pp. 232-51. Harmondsworth: Penguin.]
Sneddon, J. (2003). Diglossia in Indonesian. Journal of the humanities and social sciences of Southeast Asia and Oceania, 159(4), 519-549.
Kenal, Bahasa Inggrisnya Apa?
"No knowledge, no love!" Wait what? Tiba-tiba penasaran, konsep "kenal" itu ada nggak ya…