5 Kata yang Sering Dipakai Berkebalikan 180 Derajat dengan Artinya

Sebagai makhluk hidup kita tentu menggunakan bahasa sebagai sarana berkomunikasi kita. Dalam bahasan informatika, bahasa dapat dimengerti oleh sesama penuturnya karena terdapat suatu ontologi antara penutur itu. Dengan kata lain, terdapat suatu kesepakatan antar agen penutur bahasa akan makna dan hierarki dari setiap simbol (baca: huruf dan kata) yang digunakan dalam bahasa.
Namun, apa yang terjadi jika ternyata ada beberapa kata yang sebenarnya artinya ke kiri tetapi malah sering dipakai dalam artian ke kanan? Harusnya sih, dalam bahasan informatika, hal ini memperumit sistem dan komunikasi sampai bisa-bisa tidak ada komunikasi terjadi. Ternyata ada loh kata-kata dalam bahasa Indonesia yang dipakai berkebalikan 180 derajat dengan arti aslinya (mungkin banyak, saya baru menemukan beberapa). Hmm… Akan tetapi, untungnya karena kita manusia kita bisa menoleransi hal ini sehingga kita tetap bisa saling mengerti. Namun, kalau lawan bicaranya adalah grammar nazi, hasilnya bisa seperti kartun pada artikel ini.
Dalam artikel ini, saya menyebut kata yang dipermasalahkan tadi beserta arti salah dan arti benarnya sesuai KBBI. Kemudian saya menduga-duga kenapa hal itu bisa terjadi. Dugaan hanyalah hasil iseng penulis (on a whim kalau Inggrisnya mah). Jadi jangan dianggap serius atau bahkan jadi bahan rujukan ya. Hanya untuk menggelitik pikiran dan perut pembaca saja.
1. Absen
Yang ini adalah yang kata yang paling mudah. Kita semua tahu artinya apa tetapi selalu saja menggunakan kata ini dalam makna yang salah: daftar absen, belum absen, titip absen. Seperti terlihat pada KBBI berikut:
ab·sen /absén/ v tidak masuk (sekolah, kerja, dsb); tidak hadir;
meng·ab·sen v memanggil (menyebutkan, membacakan) nama-nama orang pd daftar nama untuk memeriksa hadir tidaknya orang: setiap pagi guru ~ murid-muridnya
Mungkin kesalahan ini terjadi berulang-ulang karena arti kata mengabsen memang memanggil nama masing-masing peserta untuk mengecek ketidakhadiran (hadir tidaknya) peserta. Jadinya, kesan yang ada pada frasa daftar absen dan titip absen ini pun mengarah ke pencatatan hadirnya seseorang. Padahal yang jadi fokus pada saat mengabsen adalah ketidakhadiran atau absennya seseorang.
2. Acuh
Kata ini cukup susah karena pemakaian yang salahnya sudah sangat akrab di telinga kita. Bahkan sering sekali digunakan di lirik lagu dan surat kabar.
Entah mengapa kata acuh memang terkesan tidak peduli. Entah karena pendeknya kata ini, intonasi pengucapannya yang tinggi di akhir sehingga terkesan cuek, atau terlalu banyak manusia yang salah menggunakan kata ini. Bisa jadi juga karena ada frasa acuh tak acuh yang artinya tidak mau tahu sehingga baik kata acuh maupun tak acuh memiliki kesan tidak peduli.
Padahal, arti yang benar sesuai KBBI adalah :
acuh v peduli; mengindahkan: ia tidak — akan larangan orang tuanya;
— tak — tidak menaruh perhatian; tidak mau tahu;
meng·a·cuh·kan v memedulikan; mengindahkan: tidak seorang pun yg ~ nasib anak gelandangan itu;
acuh·an n hal yg diindahkan; hal yg menarik minat
3. Bergeming
Yang ini sedikit lebih susah karena kata ini memang jarang digunakan dan pada saat digunakan malah salah. Sangat jarang sekali saya menemukan tulisan yang tepat dalam menggunakan kata geming ini. Pernah sekali saya menemukan suatu surat kabar elektronik yang tepat menggunakannya, saya langsung kagum dengan penulis dan editornya.
Tidak usah bertele-tele lagi, arti yang sebenarnya dari kata bergeming ini adalah :
ge·ming Jk, ber·ge·ming v tidak bergerak sedikit juga; diam saja;
ter·ge·ming v terdiam
Kenapa ya kesalahan ini terjadi? Siapa coba yang memulainya. Mungkin karena kata bergeming memiliki rima seperti halnya objek yang bergerak osilasi (bergoyang-goyang). Wing-wing-wing… Ming-ming-ming… Jadi deh, orang-orang memahami arti tidak bergeming itu “tidak bergerak”. Padahal tidak bergeming itu artinya tidak dapat bertahan alias bergerak.
4. Seronok
Yang terakhir ini agak aneh lagi. Di banyak koran dan surat kabar elektronik, penggunaan seronok cenderung negatif. Bahkan kata seronok yang dimaknai tidak sopan ini bisa sampai ke judul artikel. Wah, sudah parah kesalahannya.
Saya yang punya paman orang Malaysia sih tidak begitu sensitif dengan kata ini karena paman saya menggunakan kata seronok dengan arti sebenarnya yakni sopan. Di Malaysia sepertinya tidak ada penukaran arti seperti disini. Bahkan saya pernah berbincang dengan teman saya bahwa (kata dia) seronok yang artinya sopan itu cuma di Malaysia, kalau di Indonesia artinya tidak sopan. Di daftar perbedaan arti kata Malaysia-Indonesia di suatu situs, saya juga pernah membaca demikian.
Hmm… Benarkah begitu? Menurut KKBI:
se·ro·nok a menyenangkan hati; sedap dilihat (didengar dsb): dl dunia keronggengan ini suara pesinden itu sama-sama — dan menarik hati;
me·nye·ro·nok·kan v menimbulkan rasa seronok;
ke·se·ro·nok·an n perihal (yg bersifat) seronok
Jelas pula arti kata seronok menurut KKBI (dan ini artinya menurut bahasa Indonesia) adalah sopan bukan makna negatif yang sering dipakai orang. Makna kata ini sama dengan yang dipakai saudara kita di Malaysia sana.
Kesalahan pemakaian hingga 180 derajat pada kata seronok ini mungkin terjadi karena keberadaan kata senonoh yang serima pengucapannya. Karena kata senonoh bernuansa negatif, akhirnya kata seronok pun kecipratan. Padahal kata seronok artinya sopan loh.
5. Senonoh
Nah kata yang ini setangah-setengah nih. Terkadang benar, terkadang salah.
Seperti yang sudah disinggung di atas, kata senonoh artinya tidak sopan ya. Akan tetapi, entah mengapa sering kita dengar perkataan yang mirip seperti “Artis itu melakukan perbuatan tidak senonoh”. Seolah-olah, kata senonoh disini artinya sopan. Hmmm… Padahal KKBI berkata :
se·no·noh a, tidak — , kurang — tidak patut atau tidak sopan (tt perkataan, perbuatan, dsb); tidak menentu atau tidak manis dipandang (pakaian dsb): kelakuan yg tidak –; pakaian
tidak –;
ke·ti·dak·se·no·noh·an n keadaan tidak senonoh
Dua kasus yang terakhir ini cukup unik ya, soalnya sering terbalik-balik gitu penggunaannya. Aneh, heran juga saya.
Mau yang lebih herannya lagi? Lihat entri KKBI yang saya kutip di atas. Arti kata senonoh dan frasa tidak senonoh (juga kurang senonoh) disamakan. Kawan dan lawan sama. Wow, otak pecah (mind blowing)! Pada garis sumbu senonoh, arah positif dan arah negatif memiliki tujuan yang sama, yakni tidak patut atau tidak sopan.
Kenapa bisa begitu? Yah, seperti yang saya jelaskan sebelumnya pada artikel Pengrajin dan Perajin : Satu Lagi Kesalahan yang Dibenarkan dan artikel Anda Lucu : Bahasa Itu Hidup dan Berkembang, KBBI itu punya karakteristik untuk merekam kata-kata yang lazim dipakai oleh masyarakat. Karena bahasa berkembang, suatu pergeseran makna seperti ini harus pula direkam oleh KBBI pada zamannya.
Sepertinya kata senonoh sudah lebih tua disalahgunakan dengan sebutan tidak senonoh sehingga frasa yang terakhir ini punya makna yang sama dengan kata aslinya : senonoh. Akhirnya, tim perumus KBBI pun membenarkan kesalahan tadi dengan menambahkan entri tidak senonoh ke KBBI supaya orang luar yang ingin mempelajari bahasa Indonesia paham bahwa tidak senonoh dipahami masyarakat sebagai tidak sopan, sama seperti kata senonoh itu sendiri.
Bukan tidak mungkin kata absen, acuh, geming, dan seronok nantinya mendapat entri baru pada KBBI dengan makna yang berkebalikan dengan makna asalnya. Sekarang tergantung kita, mau memakai bahasa dengan baik dan benar atau sekenanya.
Itulah kata-kata yang sering dipakai salah bahkan sampai berputar balik artinya. Sebagai agen penutur bahasa yang baik, kita harus menggunakan simbol-simbol tadi sesuai kesepakatan bukan.
Jika Anda menemukan surat kabar yang masih salah dalam menggunakan kata-kata di atas berarti editornya belum lulus sekolah jurnalis tuh. Coret saja dari daftar surat kabar favorit Anda.
Kenal, Bahasa Inggrisnya Apa?
"No knowledge, no love!" Wait what? Tiba-tiba penasaran, konsep "kenal" itu ada nggak ya…
ming…ming…ming
Wah hebat, i like it, pengetahuan baru buat saya, jujur. Ternyata orang Indonesia banyak yang tak mengerti dan menggunakan dengan salah bahasanya sendiri.
Ya baru faham, yang tahu hanya orang yang sekolah….”Utamakan Bahasa Indonesia”, infonya bermanfaat …
Makasih yaaa atas infox…
Good article
Sebenarnya artikelnya ringan tapi penjabarannya berat banget ya? Hahhaha 😀
bener-bener… saya masih pusing dengan senonoh dan tidak senonoh.
😀
Saya pikir, penggunaan kata senonoh itu tidak untuk berdiri dengan sendirinya! Artinya, ia hanya bisa dirangkaikan dengan kata ‘tidak’ (atau sejenisnya seperti ‘tak’), jadi “tidak senonoh” itu mejadi suatu frasa dasar, tanpa kata pelengkap -seperti ‘tidak’- maka senonoh tak biasa digunakan (atau mungkin tidak bisa sama sekali). Akan halnya KBBI, itu bukanlah suatu kitab suci, sudah pasti masih banyak ketidaksempurnaan/kesalahan/kekeliruan didalamnya, tapi bangsa ini tak pernah menghargai bahasa persatuannya, jadi tidak ada energi yang digunakan untuk menyempurnakan KBBI secara sempurna! Yang ada saat ini (dan pasti kian parah di masa mendatang) adalah kerusakan penggunaan bahasa yang jauh dari kaidahnya yang betuk, bahkan di media masa sekalipun, terutama media elektronik (maklumlah pekerjanya hampir seluruhnya ‘anak kemarin sore’). Di dalam masyarakat pun acap menggunakan bahasa Inggris (pola pikir primitif yang menganggap hal yang berbau barat itu adalah mutakhir). Dan juga saat ini yang terjadi adalah bahsa Jawa (tak ada dalam KBBI) digunakan secara serampangan pada media nasional, seharusnya pemerintah sadar akan hal ini, mengaku menjunjung NKRI tapi yang dipakai adalah bahasa suku mayoritas yaitu Jawa! Jadi sejatinya, NKRI itu hanya omong kosong belaka dan akan dipakai dalam konteks yang menguntungkan suku Jawa! Jika Anda belajar sejarah yang benar (bukan sejarah di sekolah yang merupakan pencucian otak generasi muda demi kenpentingan rezim yang berkuasa) maka Anda akan menyadarinya dan pasti akan berpikir bahwa transmigrasi itu sebenarnya sama dengan kolonisasi (teori Machiavelli: “Bentuk penjajahan yang paling murah adalah dengan cara menggerakan rakyat penjajah ke daerah jajahannya”, dan jika didukung sistem maka akan terjadi asimilasi yang konteksnya adalah menguntukan bangsa penjajah, hal ini sudah terlihat di Indonesia, sayangnya generasi tua yang kemungkinan besar bisa menyadarinya sudah tiada dan generasi muda saat ini adalah generasi ego tanpa pengetahuan sosial yang tidak mengerti akan hal ini)! Ah, capek, pasti banyak yang protes karena ketidaktahuannya, jadi, bagi suku minoritas, bersiap-siaplah dalam beberapa dekade mendatang, bangsa Anda akan punah!
Terima kasih atas komentarnya yg sangat panjang. Banyak sekali bahasannya ya kemana-mana. Kalau saya boleh usul coba mas buat artikel sendiri ttg yang mas tulis itu. Pasti bagus^^…
Sedikit komentar saya atas komentar Anda:
1. Memang KBBI itu tidak sempurna. Hanya, ketidaksempurnaan dan sulitnya memutakhirkan bukan karena balai bahasa kita malas. Tetapi memang karena KBBI diupdate pada periode tertentu (tidak tiap hari, kan ada edisi-edisi). Lima tahun sekali keknya. Jadi, bisa jadi edisi terbaru tapi belum merekam kata-kata yg populer dua tahun belakang.
2. Kalau KBBI tidak kita rujuk sebagai kebenaran, terus apa dong mas? Tentu saya menempatkan KBBI lebih berat dibanding jaminan “saya pikir”-nya Anda.
3. Saya setuju, banyak orang (termasuk vicky) yg memakai bahasa Inggris campur Indonesia dan hasilnya konyol. Indolish istilahnya, saya menulis hal itu di artikel saya ini.
4. Saya tidak tahu kapan bahasa jawa dipakai serampangan dalam media. Bisa sebutkan?
5. Bahasa Indonesia itu bahasa terbuka yg menyerap dari banyak bahasa termasuk inggris dan jawa. Jadi, kalau banyak bahasa jawa yg ternyata terserap ya nggak papa juga.
6. Kalimat “bangsa Anda akan punah” ini aneh, karena pada sumpah pemuda kita sudah sepakat berbangsa satu: bangsa Indonesia.
7. Kenapa jadi malah bahas transmigrasi vs penjajahan yak? Haha… Betul teori Machiavelli tadi betul sekali diterapkan dalam kolonialiasi. Namun, dalam hal kebangsaan kok jadi lucu ya? Sadar dan istigfar mas, kalau prasangka macam yg Anda ungkapkan ini yg membuat Indonesia berpecah belah. Kalau memang transmigrasi itu bentuk penjajahan, silakan berikan solusi lain dalam masalah pemerataan pembangunan dan kepadatan penduduk. Tulis di artikel, koran, jurnal. Pastinya keren bro…
Terima kasih. Mohon maaf panjang, habisnya komen nya panjang juga sih.
Mas Albadr keren banget nanggepinya :p
Tanggapan Bang Albadrin atas komentar tersebut diatas sangat bagus dan rasional…salut-lah. Keep writing…pasti bermanfaat.
konspirasi konspirasi
Ibnu terlalu berlebihan. Seolah dialah yang paling benar. Tapi, ada benarnya juga mengenai kata senonoh. Seperti yang dituliskan pada artikel ini, di sana jelas KBBI menambahkan kata tidak bercetak tebal yang mungkin artinya harus menggunakan kata tidak atau kurang. Lain halnya katak tidak dan kurang tidak bercetak tebal, maka bisa dimaknai kalau itu adalah salah satu contoh penggunaan dalam kata. Jadi pada intinya, mungkin kata senonoh harus dirangkaikan dengan kata tidak atau kurang. Terima kasih.
saya tidak setuju dengan Poin No.3 Berngeming
setahu saya sejak saya mulai bisa baca, arti kata bergeming itu adalah gerakan yang sangat kecil.
ada geming = ada gerakan kecil (yg hampir tak terlihat)
bergeming = bergerak sedikit
tak bergeming = tak bergerak sedikitpun
jadi ketika dibuat kalimat bisa seperti contoh: “dia tak bergeming sedikitpun…
artinya: dia sama sekali tidak bergerak.
KBBI dalam hal ini sudah salah dan ternyata tetap membiarkan kesalahan tersebut terjadi seperti halnya kata “senonoh”. dan sayangnya kembali dibiarkan dan menyebabkan kekacauan. hehehe…
Percaya atau tidak itulah yang benar. KBBI bukan dewa Bahasa Indonesia. Karena itu tidak berarti apa yang ditulis KBBI juga mutlak benar dan harus diikuti. Jadi sekecil apapun salahnya kalau salah harus tetap dikoreksi. Bahkan oleh saya yang bukan ahli bahasa sekalipun punya hak mengoreksi yang salah itu. hehehe…
Saya justru lebih setuju artikel di bawah ini:
http://www.kompasiana.com/darmas69
http://bahasa.kompasiana.com/2011/03/04/kesimpang-siuran-penggunaan-kata-bergeming-dan-akut/ dan
Sejak beberapa tahun silam saya melihat trend kesalahan penggunaan frase “bergeming” dan “tak bergeming” yang sangat mengganggu.
Teringat saya tentang perbedaan penggunaan frase “bergeming” dan “tak bergeming”. Yang saya ketahui, sejak dulu, frase yang tepat adalah “tak bergeming”, yang berarti tidak bergerak sedikitpun.
Makna lama bergeming adalah gerakan yang sangat lembut, atau sedikit bergoyang, sehingga jika sesuatu objek kukuh tak bergerak sama sekali, dikatakan objek tersebut tidak bergeming. Bagi mereka yang akrab dengan gaya bahasa dan literatur klasik, definisi ini sudah melekat sangat kuat.
Pada http://rubrikbahasa.wordpress.com/2011/07/25/bergeming/
Dalam kamus Betawi JD Homan (1868) ada keterangan
trada geming: ongeschonden (utuh, tak cacat, tak rusak), heelhuidsch (tak luka)
atinya tidaq geming: hij blijft kalm, onder bedreigingen enz (Dia tetap tenang, menghadapi ancaman dll.)
Pada media massa Indonesia beberapa tahun terakhir, semakin sering tulisan dari jurnalis dan tokoh menggunakan frase “bergeming”, termasuk dari Kompas, dimaknai kebalikan dari makna lamanya. Justru bergeming menjadi bermakna diam, tetap, tidak bergerak.
Usut punya usut, tersangka utama biang keladi tak bergemingnya “bergeming” adalah KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) 2005, yang memaknai Geming atau bergeming artinya diam saja; tidak bergerak sedikit juga.
Adalah buJajang C Noer yang menuding kesalahan KBBI tersebut. Beliau menyebut: “Kesalahan cetak dalam kamus itu sudah lama berlangsung, sudah pernah saya pertanyakan kepada kepala Pusat Bahasa saat itu, tetapi rupanya sampai saat ini belum juga diralat.”http://rubrikbahasa.wordpress.com/2011/07/25/bergeming/
Kekacauan bertambah saat KBBI dijadikan acuan pada kamus internet, seperti pada http://www.artikata.com/arti-328341-geming.html, yang menyadur KBBI3: 1. , ber•ge•ming v tidak bergerak sedikit juga; diam saja;ter•ge•ming v terdiam. Atau padahttp://id.m.wiktionary.org/wiki/bergeming#section_1, yang menyebutkan bahwa bergeming (akar: geming, aktif menggemingi, pasif digemingi), bermakna tidak bergerak sedikit juga; diam saja. Juga mengacu pada KBBI3.
Senada dengan KBBI 2005, menurut Ivan Lanin, KBBI (Pusat Bahasa), KUBI III (Poerwadarminta), Kamus Dewan IV, dan Kamus Dialek Jakarta (Abdul Chaer) semuanya menyatakan bahwa (ber)geming = diam.
Pada http://id.wikisource.org/wiki/Buku_Praktis_Bahasa_Indonesia_2/31-60#Tidak_Bergeming_dan_Acuh dibahas secara rinci masalah “bergeming”, sebagai berikut:
PermasalahanUngkapan pernyataan tidak bergeming sering digunakan seperti pada kalimat berikut.Politikus itu tetap tidak bergeming pada pendirian yang diyakininya.
Benarkah pemakaian ungkapan pernyataan di dalam kalimat itu? Penjelasan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata bergeming berarti ‘diam saja atau tidak bergerak sedikit pun’. Kata bergeming yang dikaitkan dengan pendirian berarti ‘tidak berubah’. Ungkapan pernyataan tidak bergeming berarti ‘tidak tidak berubah’ atau ‘berubah’. Atas dasar makna kata itu, penggunaan ungkapan pernyataan tidak bergeming dalam kalimat tersebut tidak tepat. Pernyataan yang benar adalah sebagai berikut.
Politikus itu tetap bergeming pada pendirian yang diyakininya.
Penjelasan ini tentu sah-sah saja dalam hal KBBI tidak terdapat kesalahan pada KBBI. Namun jika benar KBBI salah, maka besar dosa para penyusun KBBI yang membiarkan kesalahan tersebut terjadi sejak tahun 2005.
Jika penyusun KBBI berkesimpulan bahwa makna lama “bergeming” memang perlu diubah, sepantasnya KBBI membuat sosialisasi dan penjelasan yang memadai tentang perubahan tersebut. Karena merubah makna suatu kata yang telah ada sejak lama tidak boleh digampangkan begitu saja.
Membiarkan tanpa penjelasan menurut saya adalah sikap yang tidak bertanggung-jawab dari para penyusun dan penerbit KBBI. Dalam hal ini tanggung-jawab http://pusatbahasa.kemdiknas.go.id/
Sayangnya sudah 7 tahun KBBI tak bergeming untuk tetap “bergeming”.
wah, terimakasih,, ini sangat membantu untuk pemilihan kata di Antologi saya 🙂
WR,
Syifa Maulizahra Nugraha
heumm.. bagus mas albadr. kata2 nya top. cocok kalo forum debat2. sopan tapi langsung menukik tajam*apa ini v: