Home Uncategorized Muallaf Istiqlal, Manajemen Masjid Raksasa, dan Sedikit “Sisi Gelap”
Uncategorized - June 5, 2013

Muallaf Istiqlal, Manajemen Masjid Raksasa, dan Sedikit “Sisi Gelap”

Masjid Istiqlal begitu luas. Sayang jika tidak dijelajahi, pikir saya waktu itu. Kebetulan punya banyak waktu juga saya. Sambil menunggu jam 4, saya akhirnya memutuskan untuk berkeliling. Pertama, saya menyusuri koridor di hadapan tangga utama. Koridor ini sepi, hanya dua tiga orang saja yg duduk-duduk. Kiri kanan koridor terbentang luas tempat shalat terbuka. Membuat koridor tersebut sepoi-sepoi meskipun di duduk di tengah jantung Jakarta.  Tadinya sih saya mau nyari colokan untuk buka laptop dan cas hape, tapi saya penasaran dengan ujung koridor sana.

Sampai ujung, ternyata ada tangga ke bawah. Pintu sebelah utara rupanya lebih rendah dari area lantai utama, kagum saya waktu itu. Ya iyalah! Bodohnya saya. Lantai utama kan di lantai dua (tadi kan naik tangga dulu). Saking luasnya lantau utama tersebut (dan teras shalat luar tadi), saya sampai tidak merasa itu di lantai dua. Hmm…

Ini lantai dua loh.
Ini lantai dua loh.

Area utara jauh lebih sepi dibanding Pintu Al Fattah di tenggara. Hampa. Gelap. Tapi tetap, ada satpam yg berjaga di pintu keluar masuk sana. Di kiri dan kanan ruang pertama pintu tersebut, langsung terhampar tempat wudhu hingga ke ujung sayap masing-masing arah. Saya pun ke luar dan melihat-lihat taman di sebelah utara yg ternyata berhadapan dengan Monumen Nasional dan Kantor Pertamina Pusat, plus ada air mancur yg sepertinya sudah pensiun.

Setelah memoto-moto sungai hitam di sekitar gerbang utara tanpa beralas kaki, saya masuk lagi ke Istiqlal dan menyusuri tempat wudhu ke sebelah barat. Sepi banget nggak ada orang. Seperti maling saja saya lewat sana. Agak takut juga ditegor satpam. Dan ngomong-ngomong soal maling, ada tempelan lucu loh yg saya temukan di tempat wudhu sana.

Perhatian bagi maling, mohon bertaubat
Perhatian bagi maling, mohon bertaubat

Saya menjelajah hingga ke posisi barat, nemu pintu kecil keluar dan melihat pintu Al Malik yg ternyata pintu Viviaipi (VVIP). Kemudian melintasi tengah tempat wudhu tepat berada di bawah ruang utama (sepertinya) dan mendapati ruang luas yg sepertinya adalah koridor di depan sekolah PAUD dan SD Istiqlal. Kemudian saya naik tangga yg ternyata muncul ke dalam ruang utama di bagian akhwat.

Viviaipi
Malik = Raja = Viviaipi

Setelah ditegur seorang ibu-ibu, saya pun mencari pilar terdekat untuk bersandar. Beristirahat sejenak sebelum bertualang lagi. Sambil menikmati indahnya ruang utama ini. Ngomong-ngomong soal pilar, Masjid Istiqlal ditopang oleh 12 pilar besar. Di tengah 12 pilar terdapat kubah raksasa berwarna emas yg menjulang tinggi hingga lima lantai lebih. Di setiap pilar terdapat rak buku besar yg isinya mungkin mushaf Al Quran. Itu sih biasa ya, yg tidak biasa ialah. Di setiap pilar juga terdapat layar monitor besar. Ada 40 inch kali, atau lebih. Entah buat apa saya juga bingung.

Pilarnya bok... Mahal kayaknya...
Pilarnya bok… Mahal kayaknya…

Kebeluan di pilar yg saya singgahi terdapat seorang bapak-bapak yg juga sedang tidur-tiduran. Tidak kusangka, bapak itu menyapa dan mengajak ngobrol. Dari mana? Lagi cari kerja? Wah Bandung, saya pernah tuh ke masjid raya sana… Dari sanalah sepertinya petualangan saya berakhir dan beralih ke kisah cerita dan sisi-sisi Istiqlal yg saya belum tahu.


Pak Setiawan Sang Muallaf Istiqlal

Namanya adalah yg paling terakhir saya ketahui. Pak Setiawan, dahulu bernama Jonathan sebelum memeluk islam. Padahal bisa dipasin ya, Joni Setiawan, kata beliau. Yup. Beliau bercerita bahwa beliau muallaf. Beliau tinggal di (sekitar) Masjid Istiqlal semenjak jadi muslim pada Agustus 2012 silam. Orang yang mengislamkannya adalah salah satu pengurus Masjid Istiqlal sehingga beliau mengikut kepada pengislamnya. Istilahnya, jadi muallaf asuhan Istiqlal.

Asal daerah Pak Setiawan adalah Purwokerto. Umurnya sekarang 53 tahun. Kenapa beliau sampai jauh-jauh ke Jakarta mengikut ustadz yg memegang janji syahadatnya? Simpel. Kata Pak Setiawan beliau diusir keluarganya. Istri dan empat anak, beserta keluarga besar tidak mau menerimanya lagi. Agak dimaklumi ya, orang cukup tua di keluarga nasrani tiba-tiba membelot.

Pak Setiawan menceritakan keislamannya tersebut dengan cukup berapi-api dan sedikit nada kekecewaan. Bukan karena diusir keluarga bukan. Beliau memang sangat sedih harus meninggalkan anak istri, belum lagi anak yg tertua adalah SMA dan yg termuda masih SD. Anak perempuannya yg tertua rutin menelpon katanya. Itulah satu-satunya alasan beliau belum menjual ponselnya. Namanya anak, rindu, menanyakan kabar. Tentu saja tanpa diketahui bundanya. Pak Setiawan pun ingin sekali bertemu mereka. Tapi apa boleh buat, sudah mencoba 2x bertemu, gagal.

Namun, memang itu menjadi ujiannya dalam berislam, katanya. Tetapi itu belum seberapa karena bukan itu yg membuatnya sedih. Pertama, Pak Setiawan ini sekarang tidak memiliki pekerjaan. Entah apa dan bagaimana pekerjaan beliau sebelumnya, selama 7 bulan ke belakang, hidupnya hanya berasal dari sedekah jemaah masjid. Beliau bingung, bagaimana tanggung jawab beliau menafkahi keluarga? Sempat juga beliau bertanya kepada ustadz Istiqlal, apakah beliau masih wajib memberi nafkah keluarganya yg non muslim? Pak ustadz menjawab, kalau mampu ya berilah nafkah, kalau tidak mampu tidak ada kewajiban untuk memberi nafkah keluarga bukan islam.

Meskipun kondisi ekonomi sangat membuatnya sedih, bukan itu hal utama yg mengecewakannya. Pak Setiawan bercerita. Masjid Istiqlal ini besar. Akan tetapi, masjid negara ini katanya tidak memiliki divisi yg bertugas mengurus muallaf. Ya, beliau beranggapan, kalau masjid sudah besar begini, semuanya kembali ke uang. Sudah menjadi komersil katanya. Tidak ada tuh pelatihan dan pembinaan khusus muallaf asuhan Istiqlal. Muallaf dibiarkan saja, dibebaskan.

Beliau selama ini belajar islam secara otodidak. Dari membaca buku. Buku pun dibeli dari uang sedekah jemaah atau diberi orang. Alhamdulillah beliau sudah bisa shalat lima waktu. Sekarang beliau sedang ingin sekali belajar shalat tahajud. Enak sekali katanya melihat orang shalat tahajud. Namun, beliau belum mampun baca Al Qur’an. Masih Iqro, itupun belum tamat. Maklum, otodidak. Saya tidak terbayang bagaimana belajar baca Al Qur’an secara otodidak.

Mau manggil guru beliau tidak punya uang. Disini, di Jakarta dan Istiqlal mau mengajari privat atau mingguan seperti itu katanya pasti butuh uang. Namun, apa dinyana. Makan saja beliau sehari sekali. Uang Rp10.000,- pun bisa dibuat untuk makan dua hari katanya.

Saya hanya bisa menjadi pendengar yg baik waktu itu. Beliau bercerita dengan semangat, walau sedih dan kecewa, tidak ada pancaran penyesalan di matanya. Dan sepertinya tidak ada tanda-tanda bahwa beliau mengarang cerita untuk membuat saya iba dan di akhir meminta uang kepada saya. Seperti orang yg ketemu di jalan, cerita habis dari telkom lah, mau pulang lah, uang kurang 50.000 lah. Tidak ada. Meskipun basic saya curigaan, mengobrol dengan bapak ini lebih dari dua jam, sambil berbaring kiri kanan dan menatap langit-langit Masjid Istiqlal yg wah itu, membuat hati saya luluh dan percaya.

Oh ya, kalau sebuah masjid yg memiliki bagian kepengurusan muallaf, selain ada pengajar yg mengecek sudah sejauh apa pemahaman muallaf tersebut terhadap islam, biasanya juga ada latihan kemandirian. Juga bantuan insentifnya. Misalnya diberi kesempatan dan sedikit modal untuk berwirausaha. Atau diajari islam untuk disiapkan menjadi pengajar selanjutnya. Beliau katanya sangat ingin menjual kopi dengan sepeda, seperti pedagang asongan nanti jika ada modal.

Yup, sama seperti Anda, saya juga terkejut bahwa ini masjid kebanggaan negara tidak becus mengurus muallaf-nya. Entah apa yg salah.

Kiri wanita (dan tempat lepas/pakai mukena) dan kanan pria.
Kiri wanita (dan tempat lepas/pakai mukena) dan kanan pria.

Kenapa Pak Setiawan memeluk islam? Menurutnya dia sudah ditipu di agama sebelumnya. Masa ada tuhan ibu, ada tuhan bapak, ada tuhan anak. Setelah memahami bahwa dalam islam Tuhan, Allah adalah Maha Esa, tidak beranak dan diperanakkan, Pak Setiawan pun memantapkan hati untuk pindah keyakinan. Kemudian, beliau cerita ttg banyak konspirasi, missonaris, mi rebus, coklat, dan ceramah mantan pendeta yg sepertinya agak kurang cocok untuk dibahas di artikel ini (saya juga lupa detail ceritanya). Lebih baik kita cerita ttg Istiqlal dulu deh, sesuai tema artike.

Cerita tentang Istiqlal

Selain bercerita ttg dirinya, Pak Setiawan juga cerita ttg banyak hal. Tentu saja, rangkaian ceritanya putus-putus tidak seperti urutan yg disajikan di blog ini dari atas hingga bawah artikel yah. Namanya juga ngobrol. Biasa antar lelaki kalau ngobrol bisa kemana-mana.

Misalnya tentang keanehan di Masjid Raya Bandung. Teras masjid kok dipakai jualan macam-macam… Bukannya nggak boleh ya berniaga di dalam masjid. Kotor banget lagi. Masuk WC juga bayar, disini mah nggak. Saya cuma menimpali, orang mojok juga banyak pak disana.

Bom Istiqlal

Kemudian tentang bom istiqlal zaman dahulu itu. Sekarang ini banyak satpam dan penjagaan akibat dari bom di lantai dasar tersebut. Saya juga lupa kapan terjadinya bom tersebut, 1999 ya? Katanya bom terjadi persis pas adzan ashar. Beliau juga ada disitu. Rupanya beliau juga sudah sering ke Istiqlal sebelum islam, sudah lama ingin berislam tetapi baru kesampaian tahun kemaren.

Menurut beliau sebenarnya yg diincar oleh bom tersebut bukan Istiqlalnya. Jadi di lantai dasar Istiqlal kan ada wilayah perkantoran. Mungkin seperti gedung masjid salman ya. Nah, salah satu yg berkantor disana adalah sebuah ormas (namanya saya lupa). Ormas ini katanya dapat membela kesalahan apapun, jadi mungkin sejenis pengacara handal segala kasus kali ya. Jadi banyak yg nggak suka. Nah yg dibom adalah kantornya ormas ini, bukan islamnya. Kata beliau begitu.

Alhamdulillah bom tersebut mengarah ke bawah sehingga menjebol lantai ke bawah saja. Tidak meluas ke ruangan. Well, saya tidak yakin bagaimana caranya mengarahkan bom. Setahu saya bom itu kan meledak ke segala arah. Mungkin itu juga merupakan tanda kekuasaan Allah.

Oh ya, semenjak bom ini juga, Istiqlal sekarang memiliki jam malam. Di atas pukul 21.00 tidak boleh dikunjungi. Dengan kata lain, tidur di kompleks Istiqlal juga tidak boleh (kecuali bulan Ramadhan). Terus bapak tinggal dimana? Pak Setiawan bercerita katanya ya tidur di mushola Stasiun Gambir seberang, atau di rumah makan padang seberang yg 24 jam. Tergantung sikon lah. ;(

Limpahan Uang dan Manajemen Masjid Istiqlal

Beliau pun bercerita tentang Masjid Istiqlal sendiri. Masjid ini pegawainya banyak diambil dari Departemen Agama. Pegawai pilihan yang sudah pensiun ada yg dialihkan untuk mengurus masjid ini. Oleh karena itu kebanyakan pengurus yg saya lihat sudah tua-tua.

Meskipun dari Depag, kata Pak Setiawan, belum tentu pegawai istiqlal ini punya ilmu agama yg cukup atau bahkan akhlak yang baik. Beliau katanya mendapat penegasan ini langsung dari ustadz yg mengislamkannya (sebenarnya Pak Setiawan menyebut namanya, tetapi karena tidak saya catat jadi lupa, namanya juga ngobrol).

Kembali ke sisi komersil Istiqlal. Masjid terbesar se-Asia Tenggara ini sering dijadikan tempat wisata bagi turis. Baik turis lokal maupun mancanegara. Kalau turis luar katanya, nanti ada yg nuntun. Ada guide-nya katanya. Jadi walaupun mereka non-islam diajak juga tuh jalan-jalan ke dalam, foto-foto, pake celana pendek. Cerita Pak Setiawan. Kalau orang sendiri datang dicukein, kalau bule disambut-sambut.

Oh ya, masih ingat tentang pilar penopang kubah masjid yg ada dua belas itu? Kata Pak Setiawan biaya pengelapannya mencapai Rp.40M (huruf M dalam bahasa indonesia ya, milyar bukan million). Katanya obatnya harus impor. Dipakai untuk mengelap mengkilat pilar super tinggi itu, kubah, lantai, dan dinding seluruh kompleks istiqlal yg tidak menyediakan ruang cat sedikitpun (seluruhnya marmer). Wah, mantab ya. Saya tidak tahu keakuratan cerita beliau ini, belum nemu di google soalnya.

Oh ya, katanya Istiqlal setiap minggunya mendapat sumbangan Rp25 juta dari hasil gabungan kotak amal. Itu baru yg rupiah, belum mata uang lain. Lumayan banyak ya? Pak Setiawan pun berpikir begitu dan memperkirakan kalau pegawainya pasti sejahtera semua. Namun saya berpikir, Masjid Salman saja sekitar Rp14 jutaan kok Istiqlal yg besarnya bermega kali lipat cuma bisa mendapat 2x lipat ya? Orang Jakarta pelit-pelit gitu?

Kalau masih keukeuh juga bawa tas ke dalem, bakal dicegat sama ini.
Kalau masih keukeuh juga bawa tas ke dalem, bakal dicegat sama ini.

Saat kami ngobrol sambil tidur-tiduran mirip seperti anak SMP yg sedang berkemah di musim panas, seorang petugas Istiqlal datang. Beliau sebentar mengobrol ke Pak Setiawan sambil menceletuk tidur-tiduran terus. Sapaan bapak petugas ini meyakinkan saya kalau Pak Setiawan memang muallaf disana. Bapak petugas tersebut sedang mondar-mandir, mempersiapkan hal-hal seperti shaf dan kereta menelang shalat ashar yg dilaksanakan 30 menit kemudian.

Oh ya, tentang tas yg dititipkan di depan, kalau masih ada yg berhasil meloloskan diri sampai ke dalam ruang utama dengan membawa tasnya – seperti saya yg keliling basement dengan tas – nanti akan disuruh menitipkan tas ke gerobak yg sudah disiapkan. Kata Pak Setiawan, bapak petugas tadi akan shalat di samping gerobak untuk memastikan keamanan tas. Setiap tas pun diberi kartu tag supaya tidak sembarangan orang boleh mengambil.

Masjid sebesar ini, kata Pak Setiawan isinya belum tentu orang baik-baik semua. Bisa jadi ada pencuri juga. Pernah kejadian seorang jemaah yg membawa laptop tidak mau menitipkan barangnya ke penitipan yg manapun. Kemudian Pak Setiawan memperingatkan supaya taruh di depan shaf saja. Eh, oleh jemaah tersebut di taruh di samping dekat pilar. Saat shalat, ternyata ada orang yg batal shalat dan kemudian mampir ke pilar tadi. Dibawa deh tas jemaah tadi. Pak Setiawan kira itu teman si Jemaah. Ternyata bukan. Ya sudah. Raib. Hilang laptop baru begitu saja, wong sudah diperingatkan.

Shalat Jumat, Shalat Ied, dan Shalat Jenazah Uje

Kemudian, saya bertanya soal luasnya Masjid Istiqlal ini. Kapan penuhnya? Kalau shalat biasa (saya sudah mencoba dzuhur, ashar, magrib, dan isya disini), shaf yang terpakai hingga empat shaf. Cukup banyak loh mengingat lebarnya ruang utama Masjid Istiqlal ini.

Namun, perlu diingat selain ruang utama dasar, masih ada lima lantai ke atas dan selasar super luas di luar. Itu kapan penuhnya Shalat Jumat gimana pak? Kata Pak Setiawan, kalau Jumat tidak penuh. Cuma ruang utama saja dan lantai duanya.

Nah, kalau saat Ramadhan baru penuh sekali. Biasanya banyak orang dari segala penjuru datang. Ingin menghabiskan sebulan penuh puasa di Istiqlal. Bahkan katanya ada yg dari Sulawesi memboyong keluarga besarnya untuk bertapa 30 hari disini. Di saat itulah Masjid Istiqlal penuh. Selayaknya masjid pada umumnya, Masjid Istiqlal tentu juga menyediakan makan berbuka dan sahur juga, jadi tidak hanya keluarga, warga sekitar dan mungkin mahasiswa dan sahaya seperti bapak ini berbahagia.

Shalat ied, jangan ditanya pasti penuh. Itulah saat-saat Masjid Istiqlal terpakai 100% kapasitasnya.

Namun, ada kesempatan juga yg bukan shalat ied dan membuat Istiqlal penuh. Sesak. Yaitu pada saat shalat jenazah Ustadz Jefri Al Buchori alias Uje bulan kemaren. Kata Pak Setiawan, Istiqlal sangat ramai sekali waktu itu. Banyak orang mampir. Bahkan sampai sesak sekali hingga memenuhi seluruh lima lantai Istiqlal. Sampai-sampai pengurus masjid marah-marah karena sesaknya itu menyulitkan prosesi shalat jenazah. Hey, padahal shalat jenazah kan memakai tempat lebih sedikit dibanding shalat biasa. Separuh shaf lah. Begitu saja pun sudah sesak?

Shalat jenazah ustadz populer? Tidak boleh ditinggalkan bukan? Well, this is Indonesia. Welcome to Indonesia.

Konspirasi Salibis dan Pembangunan Istiqlal

Patut kita ingat kembali bahwa disain Masjid Istiqlal merupakan hasil dari sebuah sayembara yang diadakan oleh pemerintah. Susunan Dewan Juri adalah Presiden Soekarno sebagai ketua, dengan anggotanya Ir. Roeseno, Ir. Djuanda, Ir. Suwardi, Ir. R. Ukar Bratakusumah, Rd. Soeratmoko, H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), H. Abu Bakar Aceh, dan Oemar Husein Amin (wiki).

Nah, yang jadi pemenang pertama sayembara adalah Fredrerich Silaban, seorang nasrani. Jadi agak ironis juga (atau malah lambang kerukunan umat antar beragama?) bahwa masjid kenegaraan justru didisain oleh agama seberang.

Nah mengenai pembangunan ini ada hal yang cukup menarik. Mungkin pembaca ada yg pernah mendengar, karena saat saya diceritakan Pak Setiawan juga sepertinya tidak asing lagi dengan ceritanya. Lagi-lagi konstipasi.

Pak Fred yg merancang Istiqlal ini rupanya tidak bisa melepaskan begitu saja status agama antara dirinya dan objek yg dirancang. Dengan demikian, entah karena dorongan luar atau dalam (pribadi), Pak Fred menyusupkan unsur agamanya ke masjid yg notabene bukan tempat ibadah agamanya ini. Pak Setiawan menceritakan kembali yg katanya beliau diceritakan langsung oleh pengurus Masjid Istiqlal.

Ruang utama istiqlal
Jeng jeng jeng…

Dari ruang utama masjid, melihat ke dinding depan bagian atas sekali terdapat persegi-persegi yg sepertinya berfungsi sebagai ventilasi. Pada saat saya kesana, ventilasi tersebut sudah ditutup oleh stainless steel berkasa, seperti yg tampak pada gambar di atas. Nah objek pembicaraan konstipasi kita kali ini adalah kemunculan sebuah lambang yg dibingkai oleh lubang ventilasi tersebut.

Jika dilihat sepintas memang tak terlihat. Namun, kalau diperhatikan seksama lambang tersebut akan terlibat. Coba perhatikan kembali gambar di atas.

Pandang dari tengah, ke ventilasi samping kanan dan kiri. Antan tampak tanda + atau lebih tepatnya salib yang merupakan bagian dari beton penyangga atap barat dari kubah Masjid Istiqlal. Beton penyangga yg entah untuk apa desainnya sehingga butuh sebanyak itu, saling berkait sehingga bagian horizontal yg melewati keseluruhan beton tersebut menimbulkan efek plus berderet +++++. Ditambah lagi lokasi ventilasi yg entah mengapa desainnya seperti itu, begitu pas membingkai pada pertemuan antara beton horizontal dan beton vertikal, untuk setiap beton penyangganya. Akhirnya, jika dilihat dari bawah, setiap ventilasi akan mengandung tanda salib, tanda yg identik dengan agama yg tentu saja bukan islam.

Untuk lebih jelas, saya tampilkan potongan gambar yang diambil dari gambar mihrab Masjid Istiqlal di laman wikipedianya. Di gambar ini, ventilasi tersebut belum di tambahi besi pelindung, sehingga lambang terlihat lebih jelas.

Jelas Konstipasi...
Kelihatan kan? Jelas ini, konstipasi…

Tampak jelas?

Saya tidak terlalu percaya dengan semua omong kosong konstipasi wahyudi, imunisasi, dan remason itu. Namun, saya yakin tentu saja hal di atas sudah diketahui oleh perancang bangunan. Bukan sebuah bug tapi merupakan fitur, minimal fitur yg tidak disengaja. Merancang bangunan yg notabene akan menjadi sebuah masterpiece tentu saja tidak mudah dan butuh perencanaan. Butuh jenius untuk menhasilkan maha karya seperti ini. Dengan demikian, masak iya sih, tim arsitek bisa abai dengan detail “pemandangan” yg cukup penting itu. Tentunya banyak kan perancangnya. Dan begitu ngepasnya antara ukuran ventilasi dan jarak antara beton penyangga.

Saya tentu tidak tahu mengapa rancang disain gedung wah ini bisa berakhir seperti ini dan membuahkan teori-teori konstipasi salibis seperti itu. Serahkan saja kepada yg kuasa. Wallahu a’lam.

Kembali ke Urusan Muallaf

Mungkin pembaca (dan juga saya) bertanya-tanya. Kalau urusan muallaf begitu tidak diurus di Istiqlal, kenapa Pak Setiawan tidak pindah masjid saja dan minta diurus di masjid lain. Toh, bapaknya sendiri bilang kalau masjid di daerah jauh lebih becus dibanding masjid ibukota untuk urusan pelayanan dan pembinaan seperti itu.

Sepintas memang sepertinya mudah. Pindah masjid beres. Namun, praktek sepertinya tidak semudah yg dibayangkan.

Menurut Pak Setiawan, Masjid Sunda Kelapa memiliki program pengembangan muallaf yang sangat maju. Tidak hanya pembinaan ilmu agama dan kerohanian yg dilaksanakan rutin, disana juga terdapat pembinaan ekonomi. Minimal muallaf diberi pendanaan awal dan dibimbing dalam berwirausaha. Muallaf tidak dibiarkan begitu saja melainkan dibimbing dalam aspek dunia maupun akhirat.

Kenapa tidak pindah kesana? Satu kata. Birokrasi.

Status Pak Setiawan sekarang adalah muallaf Istiqlal. Status ini diperoleh karena pengurus Masjid Istiqlal lah yang mencatat keislaman beliau. Supaya status ini benar, Masjid Istiqlal harus melakukan hubungan dengan Masjid Sunda Kelapa dan melakukan “transfer” muallaf. Ada jalur dokumen gitu-gitunya lah. Nah.

Kalau dipikir iya juga kan? Kamu pengurus masjid sunda kelapa tiba-tiba ada orang yg datang ngaku muallaf istiqlal minta dibina. Rasanya awkward kan. Bingung. Antara ini jemaah orang, entah pengakuannya bener nggak, entah gimana lagi.

Pak Setiawan juga pernah mendatangi Pesantren di Bogor (atau dimana gitu bapaknya cerita). Ada sejenis pelatihan atau beasiswa untuk muallaf gitu dari pesantren ustadz terkenal juga (saya lupa nama yg disebut). Nah, setelah didatangi eh ternyata ada batas umurnya. Untuk maksimal 30 tahun. Pak Setiawan yg sudah menjejakkan kaki di umur 53 harus pulang dengan kecewa waktu itu.

“Mau belajar kok dibatasi umur ya?” Pak Setiawan mengadu.

Sebenarnya, Pak Setiawan juga sudah diberi jalan keluar (atau setidaknya info untuk jalan keluar) dari kondisi sempitnya sekarang ini. Sempit pengetahuan dan ekonomi. Seorang yg juga seperti saya, ketemu bapaknya dan mengobrol, ada yg memberi informasi ttg tentang Pesantren di Sleman, Jogjakarta. Katanya pesantren disana bagus. Pembinaan khusus muallafnya mantab. Tidak memandang umur. Dibina tiap hari, rohani, jasmani, fikrah, dan ekonomi. Gratis, berasrama, bisa tinggal disana sekalian.

Sayangnya, Pak Setiawan belum diberi kesempatan untuk pindah kesana. Alasannya simpel, dana transportasi. Kata beliau naik bus ke Jogjakarta bisa Rp110.000,- dan itu pun harus naik angkot lagi ke Sleman dengan biaya Rp6000,-. Bapak ini makan saja berhemat, bagaimana mau kesana. Saya juga tidak tahu ini info kapan tapi kok kayaknya sekarang pasti lebih mahal ya.  Pemberi informasi sebenarnya waktu itu bisa saja mengajak langsung kesana, hanya saja beliau pada saat itu sedang ada pelatihan yg mengharuskan menginap dan keliling Jakarta. Pada akhirnya, Pak Setiawan masih lepas di sekitaran Masjid Istiqlal.


Hari itu saya pulang dengan sebuah penyelasan. Karena dikejar waktu setelah Ashar sehingga tidak sempat mengobrol lebih banyak dengan Pak Setiawan dan setidaknya memberi sedikit uang kepada beliau. Dan begitu kembali saat magrib, beliau tidak dapat saya temukan di sekitar Istiqlal.

Hari itu saya pulang dengan banyak cerita. Realita kebangsaan. Suka duka dan ketegaran menghadapi cobaan. Dan semangat menimba ilmu. Hari itu saya pulang dengan malu terhadap status saya yg masih muda dan muslim sejak lahir tetapi masih ragu dengan segala hal. Masih enggan menimba ilmu lebih banyak. Padahal cobaan saya terima masih begitu remeh dan tiada apa-apanya.

Hari itu saya pulang dengan sebuah nasihat. Bahwa kemewahan belum tentu dapat memberikan apa-apa. Percuma saja, manusia berlomba-lomba memegahkan masjid, meninggikan bangunan, melengkapi fasilitas, jika mereka melupakan hal yg lebih esensial: manusia.

Hari itu saya pulang dengan sebuah keteguhan. Untuk tidak pernah melupakan lapisan masyarakat seperti Pak Setiawan ini.

2 Comments

  1. pak Setiawan ciri-cirinya kaya gimana gan?
    InsyaAllah kalau tidak ada halangan saya ingin kesana sehabis lebaran tahun ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also

Kenal, Bahasa Inggrisnya Apa?

"No knowledge, no love!" Wait what? Tiba-tiba penasaran, konsep "kenal" itu ada nggak ya…